Imam Al-Bukhārī dan Kontak Lintas Aliran dalam Periwayatan Hadis
Selain Sunni, dalam Islam
dikenal berbagai aliran teologis, seperti Khawarij, Syiah, Murjiah, Qadariyah,
dan Jahmiyah, yang umumnya disebut sebagai “pelaku bidah” atau mubadda‘ūn oleh
kalangan Sunni. Hubungan antara kalangan Sunni dan kalangan mubadda‘ūn
dalam konteks perdebatan teologi, terutama pada masa periwayatan dan kodifikasi
hadis, yakni antara sekitar abad 1 H/7 M hingga abad 4 H/10 M, secara umum
tidak dapat dikatakan toleran, apalagi harmonis. Pernyataan-pernyataan lugas
namun pedas dari kalangan Sunni, termasuk Muḥammad b. Ismā‘īl al-Bukārī, yang
ditujukan untuk menyerang kalangan mubadda‘ūn bertebaran dalam
karya-karya mereka. Namun demikian, dalam kitab hadis yang dianggap paling
otentik dan valid setelah Al-Qur’an, yaitu Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, terdapat
sejumlah perawi mubadda‘ūn yang meriwayatkan hadis sahih. Oleh karena
itu, muncul dua pertanyaan mendasar: mengapa dalam Ṣaḥi>ḥ al-Bukhārī terdapat perawi mubadda‘ūn? bagaimana kontak lintas
aliran teologis dalam periwayatan hadis?
Data demi data serta analisis
demi analisis sebagai jawaban dari dua pertanyaan tersebut akan merekonstruksi
konsep jarḥ wata‘dīl dalam ilmu hadis dirāyah (teoretis) yang
secara umum tampak masih memperhitungkan perbedaan aliran teologis sebagai
penghalang periwayatan hadis dan pengakuan kredibilitas perawi hadis. Umat
Islam, apa pun dan bagaimanapun aliran
mereka, ternyata melakukan kerja sama yang baik demi kepentingan periwayatan
dan konservasi hadis.