PEREMPUAN DALAM PUSARAN PEMILU
Dalam 25 tahun ini dorongan untuk mewujudkan keterlibatan perempuan di ruang publik terus dilakukan. Indonesia mewujudkanya untuk pertama kali dalam Undang-Undang (UU) No. 2 tahun 2008 yang mengamanahkan pada partai politik (parpol) untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun pengurusan parpol di tingkat pusat. Angka 30% ini berdasarkan hasil penelitian PBB yang menyatakan jumlah minimum 30% memungkinkan terjadinya suatu perubahan yang akan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.
Sejauh ini selama 2 dekade berbagai pihak diantaranya aktifis perempuan, akademisi, eksekutif, legislatif, yudikatif bahu membahu mendorong pihak terkait untuk melahirkan berbagai regulasi. Yang tentunya dengan regulasi tersebut diharapkan dapat mengintervensi keterwakilan perempuan dalam pemerintahan dan parlemen secara jumlah dan kualitas. Selanjutnya agenda yang paling mendesak adalah bagaimana menyiapkan para perempuan untuk siap memenuhi quota sesuai dengan undang-undang bahkan melebihi standar yang diharapkan baik jumlah maupun kualitas. Namun, sebenarnya yang paling utama bagaimana laki-laki dan perempuan memiliki pengetahuan sadar dan rensponsif gender agar berbagai persoalan mengenai keterbatasan yang terjadi di masyarakat dapat segera diselesaikan.
Upaya untuk memenuhi keterwakilan perempuan di ranah politik sudah dilakukan melalui berbagai kebijakan. Namun, hasilnya masih jauh dari yang diharapkan meskipun tiap siklus kepemiluan ada peningkatan jumlah. Apalagi jumlah yang meningkat tersebut pada kenyataanya tidak menjamin kualitas caleg seperti yang diharapkan masyarakat. Peningkatan jumlah tanpa disertai peningkatan kualitas dan perspektif gender pada akhirnya tidak akan membawa kebijakan ke arah keadilan.